chamber Goa Asem
Apa yang bisa kita lihat di bawah tanah, teman?
Tak ada yang tak bisa kita pelajari dari setiap jengkal alam semesta ini, termasuk di dalam perut bumi, melewati gua vertikal, penghubung dunia bawah tanah dengan dunia nyaman diatasnya.
-Gua Asem-
Saat menuruni gua pertama kali adalah salah satu saat mencekam dalam hidup. Memang saat pertama itu sudah terjadi lebih dari dua tahun lalu, tapi bau lembab batuan karstitu, degup jantung saat melepas sedikit demi sedikit tali kernmantel dari figure of 8 itu, meredupnya cahaya bersamaan dengan makin turunnya level gua itu… masih terasa seperti baru saja.
Gua pertama itu adalah Gua Asem, terletak di Tajur, Jawa Barat. Setelah turun sekitar lebih 20 meter –mohon dikoreksi kalau salah- suasana gua langsung gelap gulita. Maklum, letak dasar vertikal gua ini agak bergeser beberapa meter dari mulut gua. Satu per satu kami pun turun. Waktu itu, kami pikir, dasar gua vertikal itulah tujuan kami, karena sekilas dasar gua itu tampak buntu.
Tentu saja ini adalah pikiran kami yang amatir saja, bagi para penjelajah gua macam Udik, Aria dan Ucup, gua ini masih jauh dari berakhir, lebih tepatnya baru awal perjalanan kami dimulai.
Sebuah celah sempit, biasa disebut ’lubang jarum’, yang hanya seukuran pas badan ditunjukkan oleh mereka sebagai pintu masuk lubang gua yang lain, masih puluhan meter ke bawah ternyata..
Kami pun turun ke ’lubang jarum’ itu, lalu mesti merayap turun, menunduk, dalam posisi telentang karena lubang ini hanya pas sebadan saja, keringat mulai bercucuran, agak menyeramkan memang posisi ini, dan kata2 ’bagaimana kalau…’ terus melintas di pikiran.
Untunglah setelah seolah tak berujung, lubang itu mulai melebar. Ini cukup melegakan. Apalagi setelah itu kami melihat sesuatu yang tak pernah kami bayangkan akan kami lihat di kedalaman bawah tanah: sebuah ruangan cukup besar, atau oleh penelusur gua sering disebut ’chamber’ [kamar]. Di ’kamar’ ini kami melihat cekungan sungai, tapi saat itu hanya ada sedikit air. Di sini juga lah kami pertama kali melihat serangga gua. Serangga ini punya antena yang lebih panjang dari serangga daratan biasa. Seperti umumnya hewan-hewan lain yang hidup di tempat dimana cahaya tidak bersinar ini, mereka tidak menggunakan mata sebagai indera untuk bertahan hidup, mereka buta. Bagi serangga gua, antena sepanjang itu berguna untuk meraba dinding gua, memastikan tidak ada gangguan di depan mereka sebelum mereka lewat. Udik meminta kami mengelus tubuhnya untuk membuktikan, dan hei.. benar juga, serangga itu tak menghindar. Beberapa cacing gua asik saja melenggang di lumpur sela-sela sepatu boot kami, tak menganggap kami sebagai ancaman, mereka pun buta.


Berjalan menyusur lagi, kami menemukan chamber yang lebih lebar dari chamber sebelumnya, letaknya jauh di bawahchamber yang pertama sehingga untuk menuju chamber kedua kami mesti turun mengunakan tangga tali dan menjalin beberapa webbing untuk menyambung tangga tali itu. Singkat cerita kami pun berhasil menuruni tali dan berada di chamberkedua. Di chamber ini kami berfoto, lalu sejenak mematikan senter dan mengheningkan cipta, merasakan kegelapan yang absolut. Merasakan kehidupan para makhluk gua. Jadi beginilah rasanya ’terkubur’ di bawah tanah. SubhanAllah, memikirkan ini membuat bulu kuduk merinding. Banyak manusia hidup ingin tahu apa yang terjadi setelah mati, dan kebanyakan dari mereka hanya membayangkan atau merasakan takutnya saja. Kami berkesempatan merasakan, walau tak hanya raga, tapi juga jiwa dan seluruh panca indera yang masih aktif, lebih dekat mengenal kematian.
Wah jadi melankolis begini, sudah lah, kami menyalakan kembali lampu, dan mulai memanjat tali keatas chamberpertama, dan merangkak naik sampai dasar gua vertikal. Kami menggunakan single rope technique [SRT] untuk kembali naik ke mulut gua. Alvin, salah satu anggota kami, pucat pasi mukanya ketika mendengar bunyi ’kriek’ yang disangkanya putus tali, haha.. Kami bisa menertawakannya sekarang, tapi saat itu sungguh horor bagi newbie macam kami. Sedangkan untuk Udik, Ucup hanya tertawa2 saja, karena jalinan tali laba-laba [anchor spider] kami –yang dibuat dengan sangat baik oleh Eka aka Odah, satu-satunya caver wanita angkatan kami- sedikit/tak ada kemungkinan akan lepas begitu saja. Adit aka Pukon menjatuhkan headlamp miliknya dalam perjalanan naik ke mulut gua, mengenai helm Petzl Udik, membuatnya dihukum satu seri push up. Isma, wanita tangguh yang memiliki phobia gelap dan tempat sempit, memastikan pengalaman pertama ini juga sebagai yang terakhir. Mamung, teman kami yang biasanya pendiam sekali jadi banyak bicara, ia cocok sekali dengan gua. Hendy, sang pemasang anchor, akhirnya bergabung dengan divisi caving bersama Mamung dan Eka, bakat mereka memang menonjol disini.
Usai rigging keluar gua kami minum susu untuk menetralisir zat apapun yang membahayakan yang berasal dari batuan, dinding, dan hewan gua. Oh ya, satu lagi pengalaman menarik kami, yaitu tidur berjajar di alam terbuka, beralaskan tanah, berkelambu bintang-bintang, dipeluk malam.
-Gua Cikaray-
Singkat saja, pengalaman kedua Nes [akhir 2007] ini berkesan karena karakteristik gua ini berbeda dari yang pertama. Lubang vertikal gua ini hanya sekitar 5 meter, dan lagi ada lubang horizontalnya. Nes dan Nouris dipandu Kadal melewati lubang horizontal. Di gua ini mengalir sungai bawah tanah, didominasistalaktit berbentuk sedotan [soda straw] yang beberapa diantaranya menetes2kan air dari atas. Lebar gua ini tidak tinggi, jadi di beberapa titik kami harus menunduk. Hewan gua yang kami temui disini paling menarik, yaitu ikan Karay –asal nama gua ini- yang badannya transparan, tidak berpigmen, karena tak mendapatkan sinar matahari. Udang gua pun berwarna transparan dan buta, begitu pula dengan kalajengking yang bersungut panjang. Hewan2 gua Cikaray ini difoto dengan sangat bagus dalam sebuah edisi majalah National Geographic Indonesia. Kami bersyukur mendapat kesempatan melihatnya langsung.
-Gua Cibarno-
Gua ketiga Nes ini murni jalan2. Berbeda lagi dengan gua2 sebelumnya yang memang berkarakter, gua kali ini hanya berupa lubang yang menganga vertikal lurus sepanjang kurang lebih 25 meter dari permukaan tanah, lebarnya sekitar 5 meter. Gua ini memang buakn untuk ditelusuri, tapi untuk latihanpertolongan saat penelusuran gua . Setelah dua tahun tak turun gua, ternyata banyak juga hal yang terlupa. Jadi tantangan turun gua kali ini adalah mengingat, hehe… Ternyata banyak juga yang perlu diingat, antara lain, sst.. masang fullbody harness. Wah ini memalukan, sempat kebalik awalnya, hehe.. Lalu teknik penduluman dengan jummaring, pasang kunci figur, pindah tali sampai SRT. Untunglah akhirnya sampai juga di bawah, dan masih selamat sampai bisa menuliskan hal ini, hehe.. Makasih buat Bramus yang sudah ’menyemangati’ Nes buat turun gua. Buat Dennis, Anna, Yusman, Semut, Asyef, Hatta, dan semuanya para pecinta goa yang menemani Nes di perjalanan ini, terima kasih.
Setelah entah berapa lama tulisan ini tertunda dalam draft, dan banyaknya istilah gua yang sangat teknis, foto2 goa yang hilang karena hardisk rusak, sampai akhirnya tulisan ini terposting *piuhh..*

atas: serangga goa yang buta, dan cacing cacing buta yang menggeliat. keduanya mengandalkan indera peraba mereka *sungut, kulit badan* untuk melakukan pergerakan, subhanAllah.. bawah: burung yang kebetulan melintas, tersorot senter Ren, dan dibidik kamera Nouris