Secara administrasi Pegunungan Penanggungan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Mojokerto. Pegunungan tersebut meliputi Gunung Penanggungan (tinggi 1659 m) dan bukit bukit-bukit sekitarnya yaitu, Bukit Bekel (1238 m), Gajah Mungkur (1084 m), Sarah Klopo (1235 m), dan Kemuncup (1238 m).
Tinggalan purbakala yang terdapat di gunung penanggungan sangatlah banyak. Menurut van Romondt yang pernah melakukan penelitian pada tahun 1951 tinggalan purbakala yang terdapat di gunung Penanggungan sekitar 81 buah yang tersebar di lereng gunung penanggungan. Tinggalan purbakala yang ada di gunung penanggungan secara umum berbentuk punden berundak dengan altar pemujaan di bagian paling belakang, selain itu terdapat juga beberapa gua atau ceruk yang digunakan sebagai pertapaan dan artefak-artefak lain yang berkaitan dengan bangunan suci tersebut. Inventarisasi lebih lanjut dilakukan oleh DITLINBINJARAH pada tahun 1990/1991 yang berhasil mencatat sebanyak 51 buah.
Gunung penanggungan merupakan salah satu gunung suci, dalam kitab negarakertagama disebut dengan pawitra. Bentuk peninggalan yang berupa struktur bangunan bertingkat yang banyak dijumpai di wilayah gunung penanggungan adalah punden berundak. Punden-punden tersebut dibangun tersebar di lereng barat puncak Penanggungan, di lembah antara puncak Penanggungan dan bukit Bekel, di bukit Bekel dan bukit Gajah Mungkur. Punden berundak tersebut umumnya berorientasi kearah puncak Penanggungan atau puncak bukit lainnya. Hal ini membuktikan bahwa anggapan tentang daerah suci tidaklah terpusat pada puncak penanggungan saja, tetapi seluruh gunung itu dan lingkungannya pun dianggap suci hingga punden-punden berundak sembarang didirikan di berbagai tempat dan selalu berada dilereng atau tempat-tempat yang mendekati puncak Penanggungan atau puncak-puncak bukit lainnya (Agus Aris, 1990 : 75).
Ditinjau dari bentuknya, bangunan berteras di situs gunung Penanggungan tampak memiliki unsur-unsur bangunan prasejarah dari tradisi megalitikum yang melatar belakangi pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Jika ditinjau dari pahatan candrasengkala atau angka tahun dalam tarikh saka pada beberapa bangunan dan juga ditinjau dari ragam hias dan relief cerita yang terdapat pada sebagaian besar bangunan dapat dipastikan bahwa peninggalan purbakala di situs tersebut berasal dari masa akhir kerajaan majapahit (sekitar abad 15 M).
Gunung Penanggungan dengan ketinggian (1.659 mdpl) dahulunya bernama Gunung Pawitra yang artinya kabut, karena puncaknya yang runcing selalu tertutup kabut. Gunung Penanggungan dikelilingi oleh empat gunung di sekitarnya, yaitu Gn. Gajah Mungkur (1.084 m), Gn. Bekel (1.240 m), Gn.Sarahklopo (1.235 m), dan Gn. Kemuncup (1.238 m). Gunung Penanggungan terletak di sebelah utara Gunung Arjuna (3339 m) dan Gunung Welirang (3156m). Gunung itu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor dari Surabaya atau Malang menuju ke Pandaan, lalu ke Trawas dan terakhir aspal di Jolotundo. Perjalanan dilanjutkan melalui jalan setapak yang relatif mudah. Disarankan membawa pemandu yang mengetahui lokasi peninggalannya. Salah satu bagian kitab Jawa Kuna Tantu - Panggelaran yang digubah sekitar paruh pertama abad ke-16, menguraikan perihal mitologi gunung itu. Dikisahkan bahwa semula Jawadwipa selalu bergoncang goncang, terombang- ambing oleh ombak Samudra India dan Laut Jawa. Para dewa di kahyangan telah memutuskan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk perkembangan peradaban manusia selanjutnya, oleh karena itu harus dihentikan goncangannya. Mereka lalu beramai-ramai memindahkan Gunung Mahameru (pusat alam semesta) yang semula tertancap di Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa dengan cara menggotongnya bersama-sama, terbang di angkasa. Selama perjalanan, bagian-bagian lereng Gunung Mahameru berguguran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung dari Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat jatuh berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung tertinggi di tanah Jawa. Sedangkan puncaknya dihempaskan oleh para dewa jatuh di daerah selatan Mojokerto, menjelma menjadi Gunung Penanggungan sekarang, atau gunung berkabut Pawitra yang sebenarnya bagian puncak Mahameru. Tak mengherankan kiranya apabila Gunung Pawitra telah dimuliakan sejak waktu yang lama. Berdasarkan bukti-bukti sejarah dan peninggalan arkeologi yang ditemukan di lerengnya, diketahui Penanggungan disakralkan sejak abad 10 M. Inkripsi tertua yang ditemukan adalah prasasti suci yang bertanggal 18 September 929 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok yang memerintahkan agar Desa Cunggrang dijadikan daerah bebas pajak (sima), penghasilan desa itu dipersembahkan bagi pemeliharaan bangunan suci Sanghyang Dharmasrama ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung. Berdasarkan berita prasasti tersebut dapat ditafsirkan, pada masa itu telah terdapat bangunan suci (prasada) dan asrama bagi para pertapa di Pawitra. Adalah pemandian kuna (patirthan) Jalatunda yang terdapat di lereng baratnya. Pemandian itu dibangun pada tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya dianggap amerta (air keabadian) karena ke luar langsung dari tubuh Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya terdapat swarloka, persemayaman dewa - dewa. Diduga, dahulu pernah bertakhta arca Wisnu sebagai dewa kesejahteraan manusia di bagian tengah pemandian, sekarang telah raib entah ke mana. Air Jalatunda juga dipercaya oleh penduduk sekitar Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan sebagai air bertuah. Seseorang yang minum dan mandi di pancuran airnya (jaladwara) dapat menenteramkan pikirannya yang kacau, dan juga dipercaya dapat membuat awet muda. Ketika AIRLANGGA muda mengungsi dari Kerajaan Dharmawangsa Teguh yang hancur akibat serangan dahsyat WURAWARI (1016 M), ia lalu menyingkir ke Wanagiri, diiringi sahabat setianya HAYAM WURUK (1350 -1389 M), raja Majapahit yang suka jalan-jalan itu pun pernah mampir di lereng timur Pawitra untuk menikmati keindahan. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 58 : 1, sang raja singgah di Cunggrang, asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang yang curam. Dari tempat itu pemandangan ke arah Pawitra sangat menawan.Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan! Di Penanggungan ditemukan tidak kurang dari 80 kepurbakalaan. Terdapat sekitar 50 monumen berupa punden berundak-undak dengan tiga altar persajian di teras teratasnya. Dinding punden-punden berundak adayang dihias dengan relief centa Sudhamala (kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan Bidadari), Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri Kediri), Ramayana, dan kisah-kisah hewan. Kepurbakalaan lainnya berupa gua-gua pertapaan, deretan anak tangga batu mendaki bukit, area-area, gentong-gentong batu, altar persajian tunggal, batu dihias relief, prasasti, ribuan pecahan gerabah dari berbagai bentuk. Berdasarkan tafsiran dari berbagai bentuk data yang tersedia, baik berupa monumen, area-area, prasasti, uraian kitab kuna Arjunawiwaha, Nagara krtagama, Arjunawijaya, Tantu Panggelaran, dan lainnya lagi, dapat diketahui dalam era Hindu-Buddha di Jawa, Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan. Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang masih asri. Gunung Pawitra dijadikan pusat aktivitas keagamaan kaum resi, tentu berdasarkan pemikiran bahwa Pawitra tidak lain dari puncak Mahameru itu sendiri. Apabila para resi dan kaum pertapa itu bermukim di lerengnya, berarti lebih mendekati rahmat dewa, lebih mudah berkomunikasi dengan dunia Swarloka, tempat Girinatha (Siwa) dan dewa-dewa lainnya bersemayam. |
adapun misteri dan legenda dari gunung penanggungan, yaitu sebagai berikut: Dikisahkan bahwa semula Jawa dwipa selalu bergoncang-goncang, terombang- ambing oleh ombak Samudra India dan Laut Jawa. Para dewa di kahyangan telah memutus kan bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk perkembangan pera daban manusia selanjutnya, oleh karena itu harus dihentikan goncangannya. Mereka lalu beramai -ramai memindahkan Gunung Maha meru (pusat alam semesta) yang semula tertancap di Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa dengan cara menggotongnya bersama-sama, ter bang di angkasa.