Gunung Slamet (3432 mdpl) mengalami letusan besar terakhir terjadi pada tahun 1988. Kejadian tanggal 12-13 Juli itu ditandai dengan keluarnya abu dan lava dari kawah gunung api di bagian barat Jateng itu.

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Dr Surono, secara karakter apabila terjadi letusan besar, bahaya utama yang dapat ditimbulkan Slamet adalah berupa luncuran awan panas, lontaran piroklastik seperti bom vulkanik, pasir dan abu serta aliran lava.

"Sebaran jatuhan piroklastik tergantung kepada ketinggian lontaran dan kencangnya angin yang berhembus pada saat terjadi letusan, terutama abu dan pasir," katanya di Bandung, Jumat 24/4.

Menurut dia, periode letusan gunung yang mencakup lima kabupaten yakni Pemalang, Brebes, Tegal, Purbalingga, dan Banyumas itu tidak menentu. Terkadang aktivitas vulkaniknya menggeliat dalam tempo satu tahun dengan melontarkan letusan, tapi bisa juga dalam jangka waktu hingga 53 tahun baru meletus kembali.

Berdasarkan sejarah Gunung Slamet, kegiatan yang mulai terjadi 21 April lalu dapat saja menjadi siklus 20 tahun gunung itu kembali melontarkan letusannya. Selain tahun 1988, gunung api aktif tipe A tersebut juga sempat bergolak pada Juni, Juli, Agustus 1969, kemudian letusan abu dan lava terjadi pada Juli, Agustus, dan Oktober 1953, dan kondisi serupa juga berlangsung pada 1 Juli dan 12 September 1932 berupa letusan sejenis. Berdasarkan sejarahnya, letusan Slamet tercatat tidak memakan adanya korban jiwa.

Menjelang peningkatan kegiatan pada pekan ini, aktivitas Slamet sebelumnya relatif tenang selepas letusan 1988. Bila  pun ada peningkatan hanya ditandai dengan intensitas gempa yang menaik tanpa disertai letusan. Tapi kemungkinan kondisi itu tidak mempengaruhi aktivitas di perut gunung yang terus mengakumulasi energi sebelum meningkat pada Selasa lalu sehingga statusnya dinaikan menjadi waspada.

Aktivitas Slamet sendiri semenjak dinaikan kembali statusnya satu tingkat menjadi siaga pada Kamis lalu 23/4, mulai menyemburkan material lava pijar setinggi 100 meter. Semburan itu disertai tinggi letusan yang semakin meninggi hingga 800 meter. Kondisi tersebut teramati di Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Gambuhan, Pemalang semenjak Kamis sore hingga Jumat pagi 24/4.

PVMBG terus melakukan pemantauan intensif. Mereka juga memperkuat petugas di Pos PGA Gambuhan dengan mengirimkan tim ahli dari Bandung yang berangkat Jum'at 24/4. Kalkulasi tim, dampak muntahan letusan Slamet baru sebatas menimbulkan hujan abu ke arah utara berdasarkan hembus angin seperti wilayah Desa Bojong dan Bumi Jawa, Tegal dan Kecamatan Pulosari, Pemalang.

Semenjak Selasa, pintu pendakian menuju arah puncak Slamet ditutup. Kawasan puncak memang menjadi berbahaya. "Material vulkanik yang baru dimuntahkan dari kawah dengan suhu yang sangat panas akan memapar daerah puncak dan sekitarnya," jelas Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan PVMBG, M Hendrasto.

Terhadap aktivitas wisata terutama pemandian air panas yang bersumber dari perut Slamet, PVMBG memandang belum perlu ditutup. Termasuk Pemandian Guci, Tegal yang dijelaskan sebagai pemandian yang berlokasi dekat dengan puncak Slamet yakni sekitar 6 km.

Masyarakat yang tinggal di sekitar gunung api itu diminta tetap tenang dan tidak terpancing isu menyesatkan terkait letusan Slamet.

"Kami belum merekomendasikan pengungsian. Pemandian air panas juga belum perlu ditutup, kecuali statusnya dinaikan satu tingkat lagi ke level tertinggi yakni Awas, tidak ada jalan lain kecuali menutup kegiatan wisata tersebut," tandas Surono.